NAFSU para wakil rakyat menggerogoti keuangan negara tidak pernah surut. Berbagai cara digunakan untuk memanfaatkan setiap peluang bagi penggelembungan kantong.
Setelah anggota Dewan Perwakilan Rakyat menaikkan gaji sendiri melalui berbagai akal-akalan nomenklatur, seperti dana aspirasi dan dana komunikasi, kini giliran anggota dewan daerah menuntut hal serupa. Mereka minta naik gaji.
Dalam rapat kerja anggota DPRD se-Indonesia di Bandung pekan lalu, mereka melambungkan tuntutan itu. Selain mendesak kenaikan gaji, anggota DPRD menuntut agar diperlakukan sebagai pejabat negara. Status seperti itu dinikmati oleh para wakil rakyat di pusat.
Undang-undang, memang, menempatkan anggota DPRD sebagai aparatur pemerintahan daerah. Gajinya pun ditetapkan berdasarkan gaji pejabat tinggi daerah. Dan, setiap daerah--berdasarkan tingkat kemakmuran masing-masing--menentukan besar kecilnya gaji anggota DPRD.
Bila berpatokan pada gaji kepala daerah termasuk tunjangan, rata-rata gaji anggota DPRD sebesar Rp6,4 juta per bulan di kabupaten dan Rp8,7 juta per bulan di tingkat provinsi. Ini angka yang tinggi.
Coba bandingkan dengan pendapatan rakyat miskin, yang menurut indikator Bank Dunia di bawah US$1 per hari. Atau coba bandingkan juga dengan upah minimum regional yang masih berkisar Rp1 juta per bulan dewasa ini. Berpatokan pada upah minimum regional, gaji anggota DPRD kabupaten adalah enam kali lipat, dan delapan kali lipat bagi mereka yang di provinsi.
Bila tuntutan naik gaji dan perubahan status dipenuhi, uang negara akan digerogoti oleh wakil rakyat secara tidak patut. Karena dengan menjadi pejabat negara, mereka akan menikmati fasilitas protokoler, termasuk jaminan pensiun.
Bisa dibayangkan betapa tidak adilnya wakil rakyat yang cuma bekerja lima tahun memperoleh jaminan pensiun sama dengan pegawai negeri yang rata-rata bekerja di atas 30 tahun. Karena itu, hak pensiun yang selama ini diberikan kepada anggota DPR patut dibatalkan.
Desakan naik gaji anggota DPRD adalah refleksi mentalitas dan orientasi para wakil rakyat yang tidak kunjung membaik. Yaitu, mereka melihat lembaga DPR/DPRD sebagai lembaga cari makan. Bukan lembaga pengabdian. Negara dianggap sebagai sapi perah yang harus disedot susunya sampai kering, bahkan kalau perlu sampai membunuh sang betina.
Anggota dewan, di pusat maupun daerah, telah kehilangan roh sebagai wakil rakyat. Tidak ada lagi chemistry batiniah antara rakyat yang diwakili dan para wakil itu.
Negara harus tegas merumuskan kapan gaji anggota DPR/DPRD patut dinaikkan. Salah satu benchmark adalah angka kemiskinan dan upah minimum regional.
Selama penduduk miskin di Indonesia belum turun drastis--katakan di bawah 20%--tidak ada alasan menaikkan gaji wakil rakyat. Jangan memberi peluang bagi suburnya naluri penggerogotan uang negara di kalangan wakil rakyat di pusat maupun daerah.
Setelah anggota Dewan Perwakilan Rakyat menaikkan gaji sendiri melalui berbagai akal-akalan nomenklatur, seperti dana aspirasi dan dana komunikasi, kini giliran anggota dewan daerah menuntut hal serupa. Mereka minta naik gaji.
Dalam rapat kerja anggota DPRD se-Indonesia di Bandung pekan lalu, mereka melambungkan tuntutan itu. Selain mendesak kenaikan gaji, anggota DPRD menuntut agar diperlakukan sebagai pejabat negara. Status seperti itu dinikmati oleh para wakil rakyat di pusat.
Undang-undang, memang, menempatkan anggota DPRD sebagai aparatur pemerintahan daerah. Gajinya pun ditetapkan berdasarkan gaji pejabat tinggi daerah. Dan, setiap daerah--berdasarkan tingkat kemakmuran masing-masing--menentukan besar kecilnya gaji anggota DPRD.
Bila berpatokan pada gaji kepala daerah termasuk tunjangan, rata-rata gaji anggota DPRD sebesar Rp6,4 juta per bulan di kabupaten dan Rp8,7 juta per bulan di tingkat provinsi. Ini angka yang tinggi.
Coba bandingkan dengan pendapatan rakyat miskin, yang menurut indikator Bank Dunia di bawah US$1 per hari. Atau coba bandingkan juga dengan upah minimum regional yang masih berkisar Rp1 juta per bulan dewasa ini. Berpatokan pada upah minimum regional, gaji anggota DPRD kabupaten adalah enam kali lipat, dan delapan kali lipat bagi mereka yang di provinsi.
Bila tuntutan naik gaji dan perubahan status dipenuhi, uang negara akan digerogoti oleh wakil rakyat secara tidak patut. Karena dengan menjadi pejabat negara, mereka akan menikmati fasilitas protokoler, termasuk jaminan pensiun.
Bisa dibayangkan betapa tidak adilnya wakil rakyat yang cuma bekerja lima tahun memperoleh jaminan pensiun sama dengan pegawai negeri yang rata-rata bekerja di atas 30 tahun. Karena itu, hak pensiun yang selama ini diberikan kepada anggota DPR patut dibatalkan.
Desakan naik gaji anggota DPRD adalah refleksi mentalitas dan orientasi para wakil rakyat yang tidak kunjung membaik. Yaitu, mereka melihat lembaga DPR/DPRD sebagai lembaga cari makan. Bukan lembaga pengabdian. Negara dianggap sebagai sapi perah yang harus disedot susunya sampai kering, bahkan kalau perlu sampai membunuh sang betina.
Anggota dewan, di pusat maupun daerah, telah kehilangan roh sebagai wakil rakyat. Tidak ada lagi chemistry batiniah antara rakyat yang diwakili dan para wakil itu.
Negara harus tegas merumuskan kapan gaji anggota DPR/DPRD patut dinaikkan. Salah satu benchmark adalah angka kemiskinan dan upah minimum regional.
Selama penduduk miskin di Indonesia belum turun drastis--katakan di bawah 20%--tidak ada alasan menaikkan gaji wakil rakyat. Jangan memberi peluang bagi suburnya naluri penggerogotan uang negara di kalangan wakil rakyat di pusat maupun daerah.
Dikutip dari: Editorial Media Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar