Negara ini memang telah tergerogoti oleh berbagai penyakit korupsi aparatnya yang mendarah daging (Editorial Media Indonesia, 14/3/2011). Di tengah kemiskinan masyarakat yang melegenda, bencana alam yang beruntun, politikus kita malah sibuk membangun 'istana kemegahannya'. Itu yang terlihat dalam rapat kerja anggota DPRD se-Indonesia di Bandung, beberapa waktu lalu. Bukan membicarakan persoalan rakyat sebagai fokusnya, mereka malah memunculkan tuntutan kenaikan gaji dan tuntutan agar mereka diperlakukan sebagai pejabat negara. Mestinya mereka sadar selama ini pembangunan tidak berjalan baik karena uang negara yang dialokasikan lebih pada upaya memenuhi syahwat aparat negara ketimbang menolong rakyat yang sedang sekarat dilanda kelaparan. Sebagian APBN kita terkuras untuk belanja rutin (membiayai birokrasi yang ujung-ujungnya korup). Sebanyak 40% dana APBN kita habis untuk anggaran rutin, mulai anggaran belanja pegawai, tunjangan, pengadaan fasilitas, hingga perjalanan dinas. Bahkan negara ini pada tahun kemarin menghabiskan Rp162 triliun untuk belanja pegawai serta Rp153,6 triliun untuk membayar cicilan utang. Anggaran untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan cuma Rp80 triliun.
Politik kemewahan
Tampaknya ada keinginan eksplisit untuk melaraskan gedung representasi rakyat sebagai istana politik yang mementingkan kemegahan visual (visual splendour) ketimbang kemegahan aksi (action splendour) populis. Itulah sebabnya untuk menuliskan 'Jujur, Adil, dan Tegas' seorang rakyat macam Pong Hardjatmo harus bersusah payah menaiki ketinggian-รข€“hati--kubah DPR meluapkan kegundahannya. Itu menandai realitas jarak rakyat-wakil rakyat yang amat senjang.
Ketika anggota DPR ngotot membangun gedung mewah dengan alasan mendukung peningkatan kinerja, ironisnya pemerintah tampak tak bisa mencegah, bahkan untuk mengingatkan membangun istana mewah ini sebagai sebuah kebijakan yang tidak sejalan dengan desire of solidarity, berempati pada kesulitan rakyat. Artinya sah-sah saja wakil rakyat difasilitasi barang-barang mewah dengan uang rakyat, mirip seperti anggota dewan di NTT yang memperoleh kredit mobil mewah di tengah kondisi 3.115.685 warga mereka miskin dari total 4,4 juta jiwa penduduk. Berbagai kasus korupsi besar selama ini identik dengan transaksi kepentingan yang melembaga di institusi terhormat itu. Pengumuman 26 politikus lintas fraksi sebagai tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia oleh KPK membuktikan sebagai kekuatan demokrasi politik yang progresif (progressive democratic political force) DPR(D) sampai detik ini masih tersandera oleh budaya destruktif, amoral, dan nirempati. Tidak mengherankan juga jika di daerah para anggota dewan ramai-ramai meringkuk di sel tahanan karena kasus korupsi dana pembangunan yang dilakukan secara sistemis dengan kepala daerah.
Padahal di era otonomi daerah, rata-rata kabupaten/kota menghabiskan 70% APBD hanya untuk membiayai pengeluaran rutin, dan hanya 30% dialokasikan untuk membiayai kegiatan pembangunan. Angka 30% APBD itu dalam perjalanannya pun masih dikorup. Karena itu, tidak mengherankan jika semakin hari rakyat kian miskin karena tidak menerima dampak yang efektif dari tiap kucuran anggaran pembangunan yang ada. Bahkan nasib rakyat daerah kian telantar direduksi kepentingan pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur ekonomi yang lebih memihak para pemodal kapitalis.
Kehadiran wakil rakyat sekadar menggenapi keganjilan politik (political odds) yang telah mewarisi republik ini mulai kultur politik miskin idealisme, politik berbiaya mahal, hingga politik yang meraut demokrasi dalam kosmetik dan distorsi nilai kebaikan dalam kurun waktu 12 tahun terakhir. Keganjilan politik itu pula yang membuat sistem perwakilan politik kita berantakan, sulit diukur, dan abstrak yang mengurung integritas moral dalam kotak hitam kekuasaan yang sulit terdefinisikan oleh pikiran lugu rakyat. Itu sebabnya Almond dan Verba (1967) meyakini bahwa dalam sebuah sistem politik, ada ruang interaksi kekuasaan yang tidak terpantau oleh publik secara telanjang. Ruang itulah yang dinamakan black box (kotak hitam).
Negara tidak beres
Lihat saja kasus Century yang tiba-tiba dingin pascapemindahtugasan Sri Mulyani ke Bank Dunia meski sebelumnya DPR sangat garang. Paradoks itu berlanjut dalam hak angket mafia perpajakan, kemarin. Keinginan untuk menguak kebobrokan perpajakan di republik ini harus kandas oleh kepentingan pragmatis para politikus di Senayan.
Ini sebuah sketsa pesimistis yang menandai pendramatisasian kepentingan minimalis kekuasaan di tubuh eksekutif dan legislatif. Rakyat hanya memakluminya sebagai rutinitas 'cara kerja politik' yang harus diaminkan dengan senyum pahit. Karena itu, ketika mencoba memahami kenapa politik pementingan diri bisa menancap kukuh dalam ide-ide 'politisi reformis' kita dewasa ini, paling tidak bisa disimpulkan sebagai rangkaian dari gejala fungsi negara kita yang memang tidak beres.
Negara terlampau asyik mengakumulasi ritual kekuasaan tanpa serius menyeleksi mutu orientasi politik sehingga para politikus korup selalu berhasil menjadikan kancah demokrasi lokal-pusat sebagai tempat berkubang mereka. Dengan demikian, terjadilah penempatan orang yang salah di tempat yang vital (the wrong man/person in the vital). Dari ruang demokrasi yang disakralkan sistem dan pranata-pranata semu-kompromistis, penyimpangan kekuasaan memperoleh liberasinya melalui prinsip necessitas non habet legem: keperluan tidak ada hukumnya, hukum hanya takluk pada kepentingan. Jadi, entitas negara sebagai penjaga moral mesti mampu 'mengindroktinasi' inti kekuasaan sebagai pusat perubahan. Bukan sebagai protector masyarakat komersial (F Budi Hardiman, 2009:191) yang melegalkan berbagai sindikasi pemborosan dan perampokan hasil-hasil pembangunan masyarakat. Negara tidak boleh terus bersemayam dalam politik partikular yang memerkarakan persoalan-persoalan yang tidak relevan dengan kepentingan rakyat, lalu abai membangun konstruksi politik yang humanis yang menunjam ke sumsum kepentingan rakyat seperti kata Evo Morales, politik adalah 'ilmu melayani rakyat dan bukan hidup dari rakyat'.
Oleh Umbu TW Pariangu, Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM
Politik kemewahan
Tampaknya ada keinginan eksplisit untuk melaraskan gedung representasi rakyat sebagai istana politik yang mementingkan kemegahan visual (visual splendour) ketimbang kemegahan aksi (action splendour) populis. Itulah sebabnya untuk menuliskan 'Jujur, Adil, dan Tegas' seorang rakyat macam Pong Hardjatmo harus bersusah payah menaiki ketinggian-รข€“hati--kubah DPR meluapkan kegundahannya. Itu menandai realitas jarak rakyat-wakil rakyat yang amat senjang.
Ketika anggota DPR ngotot membangun gedung mewah dengan alasan mendukung peningkatan kinerja, ironisnya pemerintah tampak tak bisa mencegah, bahkan untuk mengingatkan membangun istana mewah ini sebagai sebuah kebijakan yang tidak sejalan dengan desire of solidarity, berempati pada kesulitan rakyat. Artinya sah-sah saja wakil rakyat difasilitasi barang-barang mewah dengan uang rakyat, mirip seperti anggota dewan di NTT yang memperoleh kredit mobil mewah di tengah kondisi 3.115.685 warga mereka miskin dari total 4,4 juta jiwa penduduk. Berbagai kasus korupsi besar selama ini identik dengan transaksi kepentingan yang melembaga di institusi terhormat itu. Pengumuman 26 politikus lintas fraksi sebagai tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia oleh KPK membuktikan sebagai kekuatan demokrasi politik yang progresif (progressive democratic political force) DPR(D) sampai detik ini masih tersandera oleh budaya destruktif, amoral, dan nirempati. Tidak mengherankan juga jika di daerah para anggota dewan ramai-ramai meringkuk di sel tahanan karena kasus korupsi dana pembangunan yang dilakukan secara sistemis dengan kepala daerah.
Padahal di era otonomi daerah, rata-rata kabupaten/kota menghabiskan 70% APBD hanya untuk membiayai pengeluaran rutin, dan hanya 30% dialokasikan untuk membiayai kegiatan pembangunan. Angka 30% APBD itu dalam perjalanannya pun masih dikorup. Karena itu, tidak mengherankan jika semakin hari rakyat kian miskin karena tidak menerima dampak yang efektif dari tiap kucuran anggaran pembangunan yang ada. Bahkan nasib rakyat daerah kian telantar direduksi kepentingan pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur ekonomi yang lebih memihak para pemodal kapitalis.
Kehadiran wakil rakyat sekadar menggenapi keganjilan politik (political odds) yang telah mewarisi republik ini mulai kultur politik miskin idealisme, politik berbiaya mahal, hingga politik yang meraut demokrasi dalam kosmetik dan distorsi nilai kebaikan dalam kurun waktu 12 tahun terakhir. Keganjilan politik itu pula yang membuat sistem perwakilan politik kita berantakan, sulit diukur, dan abstrak yang mengurung integritas moral dalam kotak hitam kekuasaan yang sulit terdefinisikan oleh pikiran lugu rakyat. Itu sebabnya Almond dan Verba (1967) meyakini bahwa dalam sebuah sistem politik, ada ruang interaksi kekuasaan yang tidak terpantau oleh publik secara telanjang. Ruang itulah yang dinamakan black box (kotak hitam).
Negara tidak beres
Lihat saja kasus Century yang tiba-tiba dingin pascapemindahtugasan Sri Mulyani ke Bank Dunia meski sebelumnya DPR sangat garang. Paradoks itu berlanjut dalam hak angket mafia perpajakan, kemarin. Keinginan untuk menguak kebobrokan perpajakan di republik ini harus kandas oleh kepentingan pragmatis para politikus di Senayan.
Ini sebuah sketsa pesimistis yang menandai pendramatisasian kepentingan minimalis kekuasaan di tubuh eksekutif dan legislatif. Rakyat hanya memakluminya sebagai rutinitas 'cara kerja politik' yang harus diaminkan dengan senyum pahit. Karena itu, ketika mencoba memahami kenapa politik pementingan diri bisa menancap kukuh dalam ide-ide 'politisi reformis' kita dewasa ini, paling tidak bisa disimpulkan sebagai rangkaian dari gejala fungsi negara kita yang memang tidak beres.
Negara terlampau asyik mengakumulasi ritual kekuasaan tanpa serius menyeleksi mutu orientasi politik sehingga para politikus korup selalu berhasil menjadikan kancah demokrasi lokal-pusat sebagai tempat berkubang mereka. Dengan demikian, terjadilah penempatan orang yang salah di tempat yang vital (the wrong man/person in the vital). Dari ruang demokrasi yang disakralkan sistem dan pranata-pranata semu-kompromistis, penyimpangan kekuasaan memperoleh liberasinya melalui prinsip necessitas non habet legem: keperluan tidak ada hukumnya, hukum hanya takluk pada kepentingan. Jadi, entitas negara sebagai penjaga moral mesti mampu 'mengindroktinasi' inti kekuasaan sebagai pusat perubahan. Bukan sebagai protector masyarakat komersial (F Budi Hardiman, 2009:191) yang melegalkan berbagai sindikasi pemborosan dan perampokan hasil-hasil pembangunan masyarakat. Negara tidak boleh terus bersemayam dalam politik partikular yang memerkarakan persoalan-persoalan yang tidak relevan dengan kepentingan rakyat, lalu abai membangun konstruksi politik yang humanis yang menunjam ke sumsum kepentingan rakyat seperti kata Evo Morales, politik adalah 'ilmu melayani rakyat dan bukan hidup dari rakyat'.
Oleh Umbu TW Pariangu, Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM
Dikutip dari: Media Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar