Negara ini tak bisa dipimpin oleh kebohongan. Sekali kita menggunakan kebohongan sebagai cara meraih dan mempertahankan kekuasaan, manipulasi dan destruksi menjadi tak terelakkan sebagai praktek memimpin. Hasil akhir tindak kebohongan ini adalah pengabaian rakyat dan ketidakpercayaan secara berkelanjutan.
Kasus Gayus Tambunan memperlihatkan secara terang benderang bahwa darah dan tulang negara ini tidak lagi merah dan putih, melainkan hitam di sekujur tubuhnya. Kita tidak tahu lagi pihak mana yang bisa dipercaya, karena seluruh rangkaian kasus ini dan usaha penanganannya penuh dengan rekayasa kebohongan.
Dengan kebohongan dan korupsi sebagai pilar utama negara, setiap usaha memperjuangkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel seperti menegakkan benang basah. Kehidupan publik tidak memiliki landasan untuk bisa saling percaya. Tiap warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tidak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan.
Krisis multidimensi membayangi kehidupan negeri. Sejak 1952, Soekarno telah mengingatkan tentang lima macam krisis yang bisa mematikan perkembangan demokrasi. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).
Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang memaguti kehidupan negeri. Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan dengan keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik tak berkhidmat bagi kepentingan orang banyak; aparatur negara gagal menegakkan hukum dan ketertiban; politisi dan pejabat negara miskin visi dan wawasan; perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari moralitas seperti terpisahnya air dengan minyak; adapun orang-orang yang menggenggam otoritas justru berlomba menghancurkan gejag.
Mengenai musabab krisis, Soekarno mengingatkan untuk tidak begitu mudah mengalamatkan semua itu pada kehidupan perekonomian yang belum beres. "Lihatlah pada waktu pendudukan Jepang. Adakah satu waktu di dalam sejarah kita belakangan ini yang perekonomian kita lebih kocar-kacir, lebih morat-marit, lebih berantakan daripada di zaman pendudukan Jepang itu?"
Lagi pula, perekonomian para pejabat negara sekarang ini tidak bisa dikatakan serba-kekurangan. Tidak ada alasan untuk terus mengeluh. Bukankah gaji dan aneka tunjangan terus dilambungkan tanpa rasa malu di sela-sela memburuknya perekonomian rakyat?
Alhasil, pokok masalahnya bukanlah kekurangan, melainkan tidak dikuasainya bahasa terpenting pejabat publik, yakni "amanah". Tanpa sifat amanah, pejabat negara didominasi oleh para pemimpin yang munafik: apabila berkata, mereka berdusta; apabila berjanji, mereka ingkar; dan apabila dipercaya, mereka berkhianat.
Usaha pemulihan krisis negara ini harus menyentuh simpul terlemah, yang menjadi pangkal kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi Muhammad, dalam jalan pertobatan hal-hal negatif masih bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan "kebohongan". Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula.
Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara. Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme yang mengabaikan esensi. Dalam meloloskan berbagai undang-undang yang mengabaikan nalar publik, dalam absurditas pengucuran dana kepada Bank Century, dan dalam pembiaran terhadap para penjarah keuangan negara, otoritas terkait kerap menutupi kebohongannya dengan dalih yang sama, "sudah sesuai dengan prosedur".
Kini, para pejabat negara sedang beradu siasat untuk menyempurnakan negeri ini menjadi negeri kebohongan. "Korupsi setiap pemerintahan," kata Montesquieu, "selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan aturan permainan." Kebohongan memperoleh akarnya pertama kali justru ketika aturan bisa dikorup setiap saat demi pragmatika politik.
Keterbukaan pemerintahan tidak cukup dengan keterbukaan proseduralisme. Kita memerlukan proses penyingkapan yang lebih dalam, dalam kemampuan untuk menjangkarkan kepentingan pada nilai. Bahwa kekuasaan manusia adalah amanah Tuhan yang harus diemban secara bertanggung jawab, bukan saja melalui akuntabilitas prosedural, melainkan juga akuntabilitas di hadapan Tuhan. Kalaupun pejabat bisa membohongi rakyat lewat selubung prosedur, mereka tidak akan bisa lolos dari pengawasan Yang Maha Menyaksikan.
Saatnya semua kalangan berdiri melawan kebohongan. Kebenaran segera datang dan kebohongan akan sirna, dan sesungguhnya kebohongan itu pasti akan binasa!
Yudi Latif
Cendekiawan muslim
[Kolom, Gatra Nomor 16 Beredar Kamis, 27 Januari 2011]
Kasus Gayus Tambunan memperlihatkan secara terang benderang bahwa darah dan tulang negara ini tidak lagi merah dan putih, melainkan hitam di sekujur tubuhnya. Kita tidak tahu lagi pihak mana yang bisa dipercaya, karena seluruh rangkaian kasus ini dan usaha penanganannya penuh dengan rekayasa kebohongan.
Dengan kebohongan dan korupsi sebagai pilar utama negara, setiap usaha memperjuangkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel seperti menegakkan benang basah. Kehidupan publik tidak memiliki landasan untuk bisa saling percaya. Tiap warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tidak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan.
Krisis multidimensi membayangi kehidupan negeri. Sejak 1952, Soekarno telah mengingatkan tentang lima macam krisis yang bisa mematikan perkembangan demokrasi. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).
Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang memaguti kehidupan negeri. Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan dengan keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik tak berkhidmat bagi kepentingan orang banyak; aparatur negara gagal menegakkan hukum dan ketertiban; politisi dan pejabat negara miskin visi dan wawasan; perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari moralitas seperti terpisahnya air dengan minyak; adapun orang-orang yang menggenggam otoritas justru berlomba menghancurkan gejag.
Mengenai musabab krisis, Soekarno mengingatkan untuk tidak begitu mudah mengalamatkan semua itu pada kehidupan perekonomian yang belum beres. "Lihatlah pada waktu pendudukan Jepang. Adakah satu waktu di dalam sejarah kita belakangan ini yang perekonomian kita lebih kocar-kacir, lebih morat-marit, lebih berantakan daripada di zaman pendudukan Jepang itu?"
Lagi pula, perekonomian para pejabat negara sekarang ini tidak bisa dikatakan serba-kekurangan. Tidak ada alasan untuk terus mengeluh. Bukankah gaji dan aneka tunjangan terus dilambungkan tanpa rasa malu di sela-sela memburuknya perekonomian rakyat?
Alhasil, pokok masalahnya bukanlah kekurangan, melainkan tidak dikuasainya bahasa terpenting pejabat publik, yakni "amanah". Tanpa sifat amanah, pejabat negara didominasi oleh para pemimpin yang munafik: apabila berkata, mereka berdusta; apabila berjanji, mereka ingkar; dan apabila dipercaya, mereka berkhianat.
Usaha pemulihan krisis negara ini harus menyentuh simpul terlemah, yang menjadi pangkal kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi Muhammad, dalam jalan pertobatan hal-hal negatif masih bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan "kebohongan". Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula.
Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara. Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme yang mengabaikan esensi. Dalam meloloskan berbagai undang-undang yang mengabaikan nalar publik, dalam absurditas pengucuran dana kepada Bank Century, dan dalam pembiaran terhadap para penjarah keuangan negara, otoritas terkait kerap menutupi kebohongannya dengan dalih yang sama, "sudah sesuai dengan prosedur".
Kini, para pejabat negara sedang beradu siasat untuk menyempurnakan negeri ini menjadi negeri kebohongan. "Korupsi setiap pemerintahan," kata Montesquieu, "selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan aturan permainan." Kebohongan memperoleh akarnya pertama kali justru ketika aturan bisa dikorup setiap saat demi pragmatika politik.
Keterbukaan pemerintahan tidak cukup dengan keterbukaan proseduralisme. Kita memerlukan proses penyingkapan yang lebih dalam, dalam kemampuan untuk menjangkarkan kepentingan pada nilai. Bahwa kekuasaan manusia adalah amanah Tuhan yang harus diemban secara bertanggung jawab, bukan saja melalui akuntabilitas prosedural, melainkan juga akuntabilitas di hadapan Tuhan. Kalaupun pejabat bisa membohongi rakyat lewat selubung prosedur, mereka tidak akan bisa lolos dari pengawasan Yang Maha Menyaksikan.
Saatnya semua kalangan berdiri melawan kebohongan. Kebenaran segera datang dan kebohongan akan sirna, dan sesungguhnya kebohongan itu pasti akan binasa!
Yudi Latif
Cendekiawan muslim
[Kolom, Gatra Nomor 16 Beredar Kamis, 27 Januari 2011]
Dikutip dari: Majalah Gatra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar