"ORANG yang luar biasa itu sederhana dalam ucapan, tetapi hebat dalam tindakan," demikian ucap Confusius, yang sebenarnya mengingatkan setiap pilar strategis bangsa seperti aparat penegak hukum, untuk tidak selalu mahir dan fasih berucap soal penegakan hukum (law enforcement), tapi tak hebat dalam perwujudannya.
Yang dibutuhkan oleh negeri ini jelas seperti disampaikan Confusius, yakni mental seseorang atau sejumlah pilar negara yang gigih dalam menunjukkan sikap dan perbuatan mereka dalam menjalankan amanat di ranah pengimplementasian hukum.
Masih buruknya kinerja aparat kepolisian dan kejaksaan seperti yang dipublikasikan Menpan dan Rebiro (JP, 8 Maret 2011), mengindikasikan bahwa karakter bertajuk hebat dalam tindakan masih belum dimilikinya. Aparat penegak hukum ini kurang serius atau belum maksimal dalam mewujudkan keteladanan hukum.
Kondisi karut-marutnya jagat hukum selama ini, setidaknya bisa digunakan sebagai patokan bahwa aparat belum mereformasi segala macam dan model penyakit yang menyerang dan menguasai dirinya. Korps institusi penegakan hukum, yang seharusnya dibersihkan dari baksil-baksil yang menodainya, masih ditoleransi berpenyakitan dan bahkan mengembangkan berbagai jenis penyakit yang bercorak malapraktik profesi.
Saat negara hukum sedang kehilangan kredibilitas atau ternoda citranya demikian parah, tidak mungkinlah kita membutakan nalar dengan cara mencari apologi kalau yang bersalah atau patut dipersalahkan adalah produk legislasinya. Produk legislasi, meski tidak steril dari pesan sponsor kepentingan atau pertarungan politik, secara umum, ia merupakan 'karya agung' anak bangsa, yang bisa dibahasakan sesuai dengan kepentingan masyarakat atau pencari keadilan.
Yang bisa membahasakan kepentingan masyarakat atau pencari keadilan itu tentu saja aparat penegak hukum. Polisi maupun jaksa misalnya, merupakan pilar strategis yang di pundaknya dipercaya punya kapabilitas untuk mewujudkan dan memprogresifitaskan norma.
Sebagai praktisi atau penjaga gawang rechstaat, norma-norma itu tentulah sudah dipelajari dan dipahaminya, yang kemudian dijadikan sebagai substansi untuk menegakkan kejujuran, keadilan, dan keadaban dalam jagat hukum.
Dalam konsiderasi politik pembaruan hukum, polisi maupun jaksa tersebut layak ditempatkan sebagai pengabdi profesi yang kinerjanya bisa berdampak besar terhadap keberlanjutan hidup negara, baik dalam ranah keberdayaan dan kepercayaan maupun pencerahan.
Benarkah jagat hukum di negeri ini sudah sampai pada ranah keberdayaan dan kepercayaan maupun pencerahan? Sudahkah aparat kepolisian dan kejaksaan memosisikan dirinya sebagai pemain yang selalu hebat dalam tindakan, dan bukan sebagai sosok yang hebat dalam ucapan?
Pertama, dalam ranah keberdayaan, ternyata hukum kita belum benar-benar berdaya. Prinsip tanpa tebang pilih atau nonegalitarianisme, yang seharusnya dijadikan nyawa utama bagi aparat penegak hukum saat menangani atau dihadapkan pada berbagai model kasus, ternyata belum diberdayakan. Para pencari keadilan sudah demikian sering dibuat kecewa dan terluka oleh aparat yang tidak jarang menganakemaskan atau memberikan privilese bagi elemen tertentu, yang bisa memberikannya keuntungan finansial maupun keuntungan politik.
Dalam ranah tersebut, aparat penegak hukum yang seharusnya menunjukkan keteladanan dirinya sebagai sosok yang di mana pun dan ke mana pun menyuarakan penegakan hukum berbasis egaliter ternyata dikalahkan peran elitis sosial, ekonomi, budaya, dan agama, yang mampu atau berhasil meluluhkan dan menjinakkan aparat.
Manusia (aparat) yang terperosok dalam 'tirani' elitisme itu akan membuatnya gagal menunaikan misi besarnya, atau apa yang dimainkan tidak menunjukkan kebermaknaan kesejarahan sebagai pekerja mulia. Apa yang diperbuat terbatas melakoni peran zombie (mayat-mayat hidup), yang pergerakannya serba ditentukan mesin kekuatan syahwat perburuan keuntungan eksklusif yang dibiarkan tak kenal titik nadir.
Kalau demikian itu yang terjadi, identitas norma yuridis yang purifikan akhirnya tergeser dan tergusur dari ranah fitri aparat. Pilar
negara ini tidak ubahnya sebagai kepompong berjalan yang tidak tahu arah kebenaran akibat kehilangan kiblat yang bisa menyelamatkan, memberdayakan, dan mencerahkan hidupnya.
Kedua, negeri ini sedang kehilangan kredibilitas publik, baik dalam level lokal, nasional, maupun internasional. Ketidakpercayaan publik itu diakibatkan mudahnya jagat hukum terkoyak atau dijadikan ajang permainan segerombolan penjahat kekuasaan yang tidak ingin dirinya disentuh jaring-jaring pertanggungjawaban hukum.
Mereka itu bukannya menempatkan hukum sebagai nyawa yang memberi pengayoman dan penghidupan bagi masyarakat (pencari keadilan), melainkan menjadikan hukum sekadar alat melicinkan jalan melakukan penindasan, pemasungan kebenaran, dan menyebarkan banyak keprihatinan di mana-mana. Jalan ini di antaranya dengan cara berkoalisi dengan para bandit atau kleptokrat.
Jalan itu bermazhab Nicollo Machiavelli, yang dalam doktrinnya menyebut het doel heiling de middelen atau cara apa pun berhak digunakan (dihalalkan), asalkan segala tujuan bisa tercapai. Doktrin itu berhasil menyedot pemuja tak sedikit di muka bumi, khususnya di Indonesia. Para pemuja ini sering berkoar 'jangan dengarkan auman serigala hukum, jangan hiraukan suara kebenaran, jangan ikuti nurani kemanusiaan, hancurkan segala cara yang mengarah pada pembelaan dan penegakan keadilan, dan sebaliknya gunakan segala cara seperti penindasan, adu domba, kekacauan, dan pembunuhan di mana-mana'.
Pemuja itu di antaranya dapat terbaca dalam gerombolan mafia. 'Gerombolan' yang suka mempermainkan jagat hukum ini merupakan sampel yang membenarkan bahwa jagat hukum tidak benar-benar menjadi zona loyalitas sakral penegak hukum, tapi masih menjadi pasar 'nilai tukar' para bandit, yang pintar menjadikan jagat hukum sebagai jalan mengamankan (mengayomi) kepentingan eksklusif maupun dalam menunjukkan daya imunitasnya saat hukum berusaha menyentuhnya.
Ketiga, menjadikan hukum sebagai alat pencerahan pun tidak mudah, pasalnya kebobrokan elemen penegak hukum bisa mengakibatkan tidak disambutnya politik pembaruan hukum sebagai jalan progresif menghumanisasi atau memanusiakan manusia. Produk yuridis misalnya, tidak dipercaya masyarakat sebagai bagian dari proses reformasi dan transformasi sakral, tapi dominan dianggap sebagai pertarungan dan
pertaruhan kepentingan eksklusif.
Kalau produk yuridis sudah tidak dipercaya masyarakat, negara atau masyarakat ini lambat laun akan terperosok dalam pembiasaan dan pembenaran dalam menjalani kehidupan tanpa kawalan norma. Produk yuridis tidak diperlakukan jadi rule of game yang mengatur dan menata relasi antarelemen warga dengan warga atau warga dengan negara, tetapi sekadar kompilasi dan diseminasi produk legislasi yang kehilangan makna. Itu semua tak lepas dari kecenderungan semakin maraknya dan berdaulatnya baksil yang menjangkiti negeri ini.
Namanya saja baksil, jika dibiarkan menjadi borok akut, tentulah akan terus mengeroposi keberlangsungan negeri ini. Dus, terserah aparat penegak hukum (polisi dan jaksa) yang di dalam dirinya mengidap baksil. Kalau berkeinginan kuat menyembuhkannya dan melawan setiap bentuk penyakit yang menggoda dan bermaksud menaklukkannya, masa depan mencerahkan masih bisa diharapkan.
Penulis : Bambang Satriya, Guru besar dan dosen luar biasa Universitas Machung dan UIN Malang
Yang dibutuhkan oleh negeri ini jelas seperti disampaikan Confusius, yakni mental seseorang atau sejumlah pilar negara yang gigih dalam menunjukkan sikap dan perbuatan mereka dalam menjalankan amanat di ranah pengimplementasian hukum.
Masih buruknya kinerja aparat kepolisian dan kejaksaan seperti yang dipublikasikan Menpan dan Rebiro (JP, 8 Maret 2011), mengindikasikan bahwa karakter bertajuk hebat dalam tindakan masih belum dimilikinya. Aparat penegak hukum ini kurang serius atau belum maksimal dalam mewujudkan keteladanan hukum.
Kondisi karut-marutnya jagat hukum selama ini, setidaknya bisa digunakan sebagai patokan bahwa aparat belum mereformasi segala macam dan model penyakit yang menyerang dan menguasai dirinya. Korps institusi penegakan hukum, yang seharusnya dibersihkan dari baksil-baksil yang menodainya, masih ditoleransi berpenyakitan dan bahkan mengembangkan berbagai jenis penyakit yang bercorak malapraktik profesi.
Saat negara hukum sedang kehilangan kredibilitas atau ternoda citranya demikian parah, tidak mungkinlah kita membutakan nalar dengan cara mencari apologi kalau yang bersalah atau patut dipersalahkan adalah produk legislasinya. Produk legislasi, meski tidak steril dari pesan sponsor kepentingan atau pertarungan politik, secara umum, ia merupakan 'karya agung' anak bangsa, yang bisa dibahasakan sesuai dengan kepentingan masyarakat atau pencari keadilan.
Yang bisa membahasakan kepentingan masyarakat atau pencari keadilan itu tentu saja aparat penegak hukum. Polisi maupun jaksa misalnya, merupakan pilar strategis yang di pundaknya dipercaya punya kapabilitas untuk mewujudkan dan memprogresifitaskan norma.
Sebagai praktisi atau penjaga gawang rechstaat, norma-norma itu tentulah sudah dipelajari dan dipahaminya, yang kemudian dijadikan sebagai substansi untuk menegakkan kejujuran, keadilan, dan keadaban dalam jagat hukum.
Dalam konsiderasi politik pembaruan hukum, polisi maupun jaksa tersebut layak ditempatkan sebagai pengabdi profesi yang kinerjanya bisa berdampak besar terhadap keberlanjutan hidup negara, baik dalam ranah keberdayaan dan kepercayaan maupun pencerahan.
Benarkah jagat hukum di negeri ini sudah sampai pada ranah keberdayaan dan kepercayaan maupun pencerahan? Sudahkah aparat kepolisian dan kejaksaan memosisikan dirinya sebagai pemain yang selalu hebat dalam tindakan, dan bukan sebagai sosok yang hebat dalam ucapan?
Pertama, dalam ranah keberdayaan, ternyata hukum kita belum benar-benar berdaya. Prinsip tanpa tebang pilih atau nonegalitarianisme, yang seharusnya dijadikan nyawa utama bagi aparat penegak hukum saat menangani atau dihadapkan pada berbagai model kasus, ternyata belum diberdayakan. Para pencari keadilan sudah demikian sering dibuat kecewa dan terluka oleh aparat yang tidak jarang menganakemaskan atau memberikan privilese bagi elemen tertentu, yang bisa memberikannya keuntungan finansial maupun keuntungan politik.
Dalam ranah tersebut, aparat penegak hukum yang seharusnya menunjukkan keteladanan dirinya sebagai sosok yang di mana pun dan ke mana pun menyuarakan penegakan hukum berbasis egaliter ternyata dikalahkan peran elitis sosial, ekonomi, budaya, dan agama, yang mampu atau berhasil meluluhkan dan menjinakkan aparat.
Manusia (aparat) yang terperosok dalam 'tirani' elitisme itu akan membuatnya gagal menunaikan misi besarnya, atau apa yang dimainkan tidak menunjukkan kebermaknaan kesejarahan sebagai pekerja mulia. Apa yang diperbuat terbatas melakoni peran zombie (mayat-mayat hidup), yang pergerakannya serba ditentukan mesin kekuatan syahwat perburuan keuntungan eksklusif yang dibiarkan tak kenal titik nadir.
Kalau demikian itu yang terjadi, identitas norma yuridis yang purifikan akhirnya tergeser dan tergusur dari ranah fitri aparat. Pilar
negara ini tidak ubahnya sebagai kepompong berjalan yang tidak tahu arah kebenaran akibat kehilangan kiblat yang bisa menyelamatkan, memberdayakan, dan mencerahkan hidupnya.
Kedua, negeri ini sedang kehilangan kredibilitas publik, baik dalam level lokal, nasional, maupun internasional. Ketidakpercayaan publik itu diakibatkan mudahnya jagat hukum terkoyak atau dijadikan ajang permainan segerombolan penjahat kekuasaan yang tidak ingin dirinya disentuh jaring-jaring pertanggungjawaban hukum.
Mereka itu bukannya menempatkan hukum sebagai nyawa yang memberi pengayoman dan penghidupan bagi masyarakat (pencari keadilan), melainkan menjadikan hukum sekadar alat melicinkan jalan melakukan penindasan, pemasungan kebenaran, dan menyebarkan banyak keprihatinan di mana-mana. Jalan ini di antaranya dengan cara berkoalisi dengan para bandit atau kleptokrat.
Jalan itu bermazhab Nicollo Machiavelli, yang dalam doktrinnya menyebut het doel heiling de middelen atau cara apa pun berhak digunakan (dihalalkan), asalkan segala tujuan bisa tercapai. Doktrin itu berhasil menyedot pemuja tak sedikit di muka bumi, khususnya di Indonesia. Para pemuja ini sering berkoar 'jangan dengarkan auman serigala hukum, jangan hiraukan suara kebenaran, jangan ikuti nurani kemanusiaan, hancurkan segala cara yang mengarah pada pembelaan dan penegakan keadilan, dan sebaliknya gunakan segala cara seperti penindasan, adu domba, kekacauan, dan pembunuhan di mana-mana'.
Pemuja itu di antaranya dapat terbaca dalam gerombolan mafia. 'Gerombolan' yang suka mempermainkan jagat hukum ini merupakan sampel yang membenarkan bahwa jagat hukum tidak benar-benar menjadi zona loyalitas sakral penegak hukum, tapi masih menjadi pasar 'nilai tukar' para bandit, yang pintar menjadikan jagat hukum sebagai jalan mengamankan (mengayomi) kepentingan eksklusif maupun dalam menunjukkan daya imunitasnya saat hukum berusaha menyentuhnya.
Ketiga, menjadikan hukum sebagai alat pencerahan pun tidak mudah, pasalnya kebobrokan elemen penegak hukum bisa mengakibatkan tidak disambutnya politik pembaruan hukum sebagai jalan progresif menghumanisasi atau memanusiakan manusia. Produk yuridis misalnya, tidak dipercaya masyarakat sebagai bagian dari proses reformasi dan transformasi sakral, tapi dominan dianggap sebagai pertarungan dan
pertaruhan kepentingan eksklusif.
Kalau produk yuridis sudah tidak dipercaya masyarakat, negara atau masyarakat ini lambat laun akan terperosok dalam pembiasaan dan pembenaran dalam menjalani kehidupan tanpa kawalan norma. Produk yuridis tidak diperlakukan jadi rule of game yang mengatur dan menata relasi antarelemen warga dengan warga atau warga dengan negara, tetapi sekadar kompilasi dan diseminasi produk legislasi yang kehilangan makna. Itu semua tak lepas dari kecenderungan semakin maraknya dan berdaulatnya baksil yang menjangkiti negeri ini.
Namanya saja baksil, jika dibiarkan menjadi borok akut, tentulah akan terus mengeroposi keberlangsungan negeri ini. Dus, terserah aparat penegak hukum (polisi dan jaksa) yang di dalam dirinya mengidap baksil. Kalau berkeinginan kuat menyembuhkannya dan melawan setiap bentuk penyakit yang menggoda dan bermaksud menaklukkannya, masa depan mencerahkan masih bisa diharapkan.
Penulis : Bambang Satriya, Guru besar dan dosen luar biasa Universitas Machung dan UIN Malang
Dikutip dari: Opini Media Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar