Minggu, 20 Maret 2011

DPR(D) dan Negara yang tidak Beres

Negara ini memang telah tergerogoti oleh berbagai penyakit korupsi aparatnya yang mendarah daging (Editorial Media Indonesia, 14/3/2011). Di tengah kemiskinan masyarakat yang melegenda, bencana alam yang beruntun, politikus kita malah sibuk membangun 'istana kemegahannya'. Itu yang terlihat dalam rapat kerja anggota DPRD se-Indonesia di Bandung, beberapa waktu lalu. Bukan membicarakan persoalan rakyat sebagai fokusnya, mereka malah memunculkan tuntutan kenaikan gaji dan tuntutan agar mereka diperlakukan sebagai pejabat negara. Mestinya mereka sadar selama ini pembangunan tidak berjalan baik karena uang negara yang dialokasikan lebih pada upaya memenuhi syahwat aparat negara ketimbang menolong rakyat yang sedang sekarat dilanda kelaparan. Sebagian APBN kita terkuras untuk belanja rutin (membiayai birokrasi yang ujung-ujungnya korup). Sebanyak 40% dana APBN kita habis untuk anggaran rutin, mulai anggaran belanja pegawai, tunjangan, pengadaan fasilitas, hingga perjalanan dinas. Bahkan negara ini pada tahun kemarin menghabiskan Rp162 triliun untuk belanja pegawai serta Rp153,6 triliun untuk membayar cicilan utang. Anggaran untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan cuma Rp80 triliun.

Politik kemewahan
Tampaknya ada keinginan eksplisit untuk melaraskan gedung representasi rakyat sebagai istana politik yang mementingkan kemegahan visual (visual splendour) ketimbang kemegahan aksi (action splendour) populis. Itulah sebabnya untuk menuliskan 'Jujur, Adil, dan Tegas' seorang rakyat macam Pong Hardjatmo harus bersusah payah menaiki ketinggian-รข€“hati--kubah DPR meluapkan kegundahannya. Itu menandai realitas jarak rakyat-wakil rakyat yang amat senjang.
Ketika anggota DPR ngotot membangun gedung mewah dengan alasan mendukung peningkatan kinerja, ironisnya pemerintah tampak tak bisa mencegah, bahkan untuk mengingatkan membangun istana mewah ini sebagai sebuah kebijakan yang tidak sejalan dengan desire of solidarity, berempati pada kesulitan rakyat. Artinya sah-sah saja wakil rakyat difasilitasi barang-barang mewah dengan uang rakyat, mirip seperti anggota dewan di NTT yang memperoleh kredit mobil mewah di tengah kondisi 3.115.685 warga mereka miskin dari total 4,4 juta jiwa penduduk. Berbagai kasus korupsi besar selama ini identik dengan transaksi kepentingan yang melembaga di institusi terhormat itu. Pengumuman 26 politikus lintas fraksi sebagai tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia oleh KPK membuktikan sebagai kekuatan demokrasi politik yang progresif (progressive democratic political force) DPR(D) sampai detik ini masih tersandera oleh budaya destruktif, amoral, dan nirempati. Tidak mengherankan juga jika di daerah para anggota dewan ramai-ramai meringkuk di sel tahanan karena kasus korupsi dana pembangunan yang dilakukan secara sistemis dengan kepala daerah.
Padahal di era otonomi daerah, rata-rata kabupaten/kota menghabiskan 70% APBD hanya untuk membiayai pengeluaran rutin, dan hanya 30% dialokasikan untuk membiayai kegiatan pembangunan. Angka 30% APBD itu dalam perjalanannya pun masih dikorup. Karena itu, tidak mengherankan jika semakin hari rakyat kian miskin karena tidak menerima dampak yang efektif dari tiap kucuran anggaran pembangunan yang ada. Bahkan nasib rakyat daerah kian telantar direduksi kepentingan pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur ekonomi yang lebih memihak para pemodal kapitalis.
Kehadiran wakil rakyat sekadar menggenapi keganjilan politik (political odds) yang telah mewarisi republik ini mulai kultur politik miskin idealisme, politik berbiaya mahal, hingga politik yang meraut demokrasi dalam kosmetik dan distorsi nilai kebaikan dalam kurun waktu 12 tahun terakhir. Keganjilan politik itu pula yang membuat sistem perwakilan politik kita berantakan, sulit diukur, dan abstrak yang mengurung integritas moral dalam kotak hitam kekuasaan yang sulit terdefinisikan oleh pikiran lugu rakyat. Itu sebabnya Almond dan Verba (1967) meyakini bahwa dalam sebuah sistem politik, ada ruang interaksi kekuasaan yang tidak terpantau oleh publik secara telanjang. Ruang itulah yang dinamakan black box (kotak hitam).

Negara tidak beres
Lihat saja kasus Century yang tiba-tiba dingin pascapemindahtugasan Sri Mulyani ke Bank Dunia meski sebelumnya DPR sangat garang. Paradoks itu berlanjut dalam hak angket mafia perpajakan, kemarin. Keinginan untuk menguak kebobrokan perpajakan di republik ini harus kandas oleh kepentingan pragmatis para politikus di Senayan.
Ini sebuah sketsa pesimistis yang menandai pendramatisasian kepentingan minimalis kekuasaan di tubuh eksekutif dan legislatif. Rakyat hanya memakluminya sebagai rutinitas 'cara kerja politik' yang harus diaminkan dengan senyum pahit. Karena itu, ketika mencoba memahami kenapa politik pementingan diri bisa menancap kukuh dalam ide-ide 'politisi reformis' kita dewasa ini, paling tidak bisa disimpulkan sebagai rangkaian dari gejala fungsi negara kita yang memang tidak beres.
Negara terlampau asyik mengakumulasi ritual kekuasaan tanpa serius menyeleksi mutu orientasi politik sehingga para politikus korup selalu berhasil menjadikan kancah demokrasi lokal-pusat sebagai tempat berkubang mereka. Dengan demikian, terjadilah penempatan orang yang salah di tempat yang vital (the wrong man/person in the vital). Dari ruang demokrasi yang disakralkan sistem dan pranata-pranata semu-kompromistis, penyimpangan kekuasaan memperoleh liberasinya melalui prinsip necessitas non habet legem: keperluan tidak ada hukumnya, hukum hanya takluk pada kepentingan. Jadi, entitas negara sebagai penjaga moral mesti mampu 'mengindroktinasi' inti kekuasaan sebagai pusat perubahan. Bukan sebagai protector masyarakat komersial (F Budi Hardiman, 2009:191) yang melegalkan berbagai sindikasi pemborosan dan perampokan hasil-hasil pembangunan masyarakat. Negara tidak boleh terus bersemayam dalam politik partikular yang memerkarakan persoalan-persoalan yang tidak relevan dengan kepentingan rakyat, lalu abai membangun konstruksi politik yang humanis yang menunjam ke sumsum kepentingan rakyat seperti kata Evo Morales, politik adalah 'ilmu melayani rakyat dan bukan hidup dari rakyat'.

Oleh Umbu TW Pariangu, Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM 

Dikutip dari: Media Indonesia

Rabu, 16 Maret 2011

Negara Kebohongan

Negara ini tak bisa dipimpin oleh kebohongan. Sekali kita menggunakan kebohongan sebagai cara meraih dan mempertahankan kekuasaan, manipulasi dan destruksi menjadi tak terelakkan sebagai praktek memimpin. Hasil akhir tindak kebohongan ini adalah pengabaian rakyat dan ketidakpercayaan secara berkelanjutan.

Kasus Gayus Tambunan memperlihatkan secara terang benderang bahwa darah dan tulang negara ini tidak lagi merah dan putih, melainkan hitam di sekujur tubuhnya. Kita tidak tahu lagi pihak mana yang bisa dipercaya, karena seluruh rangkaian kasus ini dan usaha penanganannya penuh dengan rekayasa kebohongan.

Dengan kebohongan dan korupsi sebagai pilar utama negara, setiap usaha memperjuangkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel seperti menegakkan benang basah. Kehidupan publik tidak memiliki landasan untuk bisa saling percaya. Tiap warga berlomba mengkhianati negara dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh tidak mampu meredam penyalahgunaan kekuasaan.

Krisis multidimensi membayangi kehidupan negeri. Sejak 1952, Soekarno telah mengingatkan tentang lima macam krisis yang bisa mematikan perkembangan demokrasi. Pertama, krisis politik, yang membuat banyak orang tidak percaya lagi kepada demokrasi. Kedua, krisis alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau. Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas).

Kelima macam krisis itu seakan berdaur ulang memaguti kehidupan negeri. Bertahun-tahun pemerintahan demokratis diperjuangkan dengan keringat dan darah. Namun, ketika kesempatan itu diraih, politik tak berkhidmat bagi kepentingan orang banyak; aparatur negara gagal menegakkan hukum dan ketertiban; politisi dan pejabat negara miskin visi dan wawasan; perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari moralitas seperti terpisahnya air dengan minyak; adapun orang-orang yang menggenggam otoritas justru berlomba menghancurkan gejag.

Mengenai musabab krisis, Soekarno mengingatkan untuk tidak begitu mudah mengalamatkan semua itu pada kehidupan perekonomian yang belum beres. "Lihatlah pada waktu pendudukan Jepang. Adakah satu waktu di dalam sejarah kita belakangan ini yang perekonomian kita lebih kocar-kacir, lebih morat-marit, lebih berantakan daripada di zaman pendudukan Jepang itu?"

Lagi pula, perekonomian para pejabat negara sekarang ini tidak bisa dikatakan serba-kekurangan. Tidak ada alasan untuk terus mengeluh. Bukankah gaji dan aneka tunjangan terus dilambungkan tanpa rasa malu di sela-sela memburuknya perekonomian rakyat?

Alhasil, pokok masalahnya bukanlah kekurangan, melainkan tidak dikuasainya bahasa terpenting pejabat publik, yakni "amanah". Tanpa sifat amanah, pejabat negara didominasi oleh para pemimpin yang munafik: apabila berkata, mereka berdusta; apabila berjanji, mereka ingkar; dan apabila dipercaya, mereka berkhianat.

Usaha pemulihan krisis negara ini harus menyentuh simpul terlemah, yang menjadi pangkal kemerosotan sekaligus kunci pertobatan. Mengikuti resep pemulihan Nabi Muhammad, dalam jalan pertobatan hal-hal negatif masih bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan "kebohongan". Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula.

Di negara ini, kebohongan koruptif bukan saja telah menjelma menjadi kategori moral tersendiri, melainkan juga menjadi pilar utama negara. Kebohongan itu kini memperoleh mantelnya dalam mistik proseduralisme yang mengabaikan esensi. Dalam meloloskan berbagai undang-undang yang mengabaikan nalar publik, dalam absurditas pengucuran dana kepada Bank Century, dan dalam pembiaran terhadap para penjarah keuangan negara, otoritas terkait kerap menutupi kebohongannya dengan dalih yang sama, "sudah sesuai dengan prosedur".

Kini, para pejabat negara sedang beradu siasat untuk menyempurnakan negeri ini menjadi negeri kebohongan. "Korupsi setiap pemerintahan," kata Montesquieu, "selalu dimulai dengan korupsi terhadap prinsip dan aturan permainan." Kebohongan memperoleh akarnya pertama kali justru ketika aturan bisa dikorup setiap saat demi pragmatika politik.

Keterbukaan pemerintahan tidak cukup dengan keterbukaan proseduralisme. Kita memerlukan proses penyingkapan yang lebih dalam, dalam kemampuan untuk menjangkarkan kepentingan pada nilai. Bahwa kekuasaan manusia adalah amanah Tuhan yang harus diemban secara bertanggung jawab, bukan saja melalui akuntabilitas prosedural, melainkan juga akuntabilitas di hadapan Tuhan. Kalaupun pejabat bisa membohongi rakyat lewat selubung prosedur, mereka tidak akan bisa lolos dari pengawasan Yang Maha Menyaksikan.

Saatnya semua kalangan berdiri melawan kebohongan. Kebenaran segera datang dan kebohongan akan sirna, dan sesungguhnya kebohongan itu pasti akan binasa!

Yudi Latif
Cendekiawan muslim
[Kolom, Gatra Nomor 16 Beredar Kamis, 27 Januari 2011]

Dikutip dari: Majalah Gatra

Selasa, 15 Maret 2011

Memercayai Pemerintah

PEMERINTAHAN yang kukuh dibangun di atas dasar kepercayaan rakyat. Tanpa itu, pemerintah menjadi bulan-bulanan, goyah, bahkan bisa ambruk.

Sulitkah mengajak rakyat memercayai pemerintah? Sebenarnya tanpa diminta pun rakyat menaruh hormat kepada pemerintah. Terlebih dalam masyarakat paternalisme. Lagi pula, dalam sistem demokrasi, hanya yang meraih suara terbanyak yang memimpin pemerintahan.

Dari sudut pandang itu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukanlah bangunan kertas yang rapuh. Pemerintahan itu kuat karena dibangun di atas fondasi kepercayaan mayoritas rakyat yang paternalistis.

Pasangan SBY-Boediono meraih kepercayaan besar pada Pemilihan Presiden 2009. Mereka menghempaskan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto serta Jusuf Kalla-Wiranto dalam satu putaran dengan meraih kepercayaan 60,8% pemilih.

Artinya, SBY mengantongi modal kepercayaan awal yang kuat saat memulai pemerintahan periode kedua. Semestinya, kepercayaan itu terus menguat karena dipupuk kinerja pemerintahan yang meyakinkan.

Karena itu, kita miris saat mendengar Presiden Yudhoyono pada Zikir Akbar, Selasa (15/2), yang meminta umat memercayai pemerintah. Presiden mengakui ada yang sudah tercapai, tetapi sejumlah rintangan masih harus diatasi. Butuh dukungan rakyat untuk menuntaskannya.

Sejujurnya kita menangkap kesan Presiden mulai risau dengan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Presiden mulai menyadari terjadi erosi kepercayaan masyarakat.

Semestinya tanda-tanda erosi kepercayaan itu bisa disimak dari hasil survei tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Apalagi Presiden sangat memercayai hasil survei.

Hasil survei Lembaga Survei Indonesia yang dipublikasikan September 2010 menyebutkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja SBY-Boediono terus turun selama satu tahun masa pemerintahan mereka.

Menurunnya tingkat kepercayaan itu direfleksikan pula oleh pernyataan para tokoh lintas agama mengenai kebohongan pemerintah. Bila pemerintah tidak juga mengatasi berbagai tindakan anarkistis yang marak akhir-akhir ini, tidak saja pemerintah, tetapi juga negara dinilai gagal.

Sesungguhnya publik telah letih menghadapi berbagai masalah yang tak kunjung tuntas. Setiap hari kita menabung masalah satu demi satu, mengendapkan, menumpuk, lalu seperti tersesat tak ada jalan keluar.

Namun, kita tetap optimistis. Optimistis karena pemerintah menyadari terjadi erosi kepercayaan. Kesadaran itu adalah modal untuk bangkit.

Masih ada waktu empat tahun di depan. Kurun yang cukup untuk meraih kembali kepercayaan publik. Bukan dengan pidato, karena retorika yang memikat bisa menjadi jerat. Juga bukan dengan pencitraan karena segera lekang dimakan fakta yang benderang.

Rakyat haus kinerja nyata. Pertama, hidup menjadi lebih baik dengan daya beli yang meningkat. Kedua, terciptanya ruang kepublikan yang sehat karena pemimpin tegas membongkar skandal Bank Century, tegar mengurai mafia pajak, dan tidak menoleransi tindakan brutal dan anarkistis.

Tanpa itu semua, suka atau tidak suka, kepercayaan rakyat akan merosot tajam.


Dikutip dari: Editorial Media Indonesia